04 November 2010. Tak ada yang istimewa pagi itu.
Kejadian kemarin membuatku tidak banyak bicara, kelelahanku masih mengganggu
pandangan dari “duniaku”. Awalnya, memori ini kulupakan, sakit hatiku semakin kurasakan,
rasa kecewa akan sebuah figuritas, dan bentroknya hati akan sebuah “misi”. Pagi
itu berlangsung seperti pagi-pagi sebelumnya. Ayah mengantarkanku sampai ke
sekolah, tanpa ada sebuah dialog pun diantara kami berdua. Dan seperti biasa,
beliau mengantarkanku sampai di depan pintu gerbang sekolah. Sebagai tanda
pamit dariku, aku mencium tangan beliau seperti yang aku lakukan biasanya.
Rutinitasku di sekolah terlalui seperti biasanya, yang
masih disibukkan dengan pengonsepan kegiatan dan membangun kepercayaan
birokrasi. Bahkan aku tidak menyangka aka nada sesuatu kejadian yang akan
mengejutkanku. Setahun yang lalu, aku belum membawa sepeda motor sendiri ke
sekolah, jadi untuk pulang seringkali kulalui dengan berjalan kaki namun
kebetulan ada seorang teman yang mau aku tumpangi untuk pulang. Sesampainya
dari rumah, kulihat Ayah sedang duduk di lantai atas, disebuah kursi kayu yang
beliau buat sendiri, namun tak ada respon apapun dariku.
Sebuah Memori
Sore hariku kujalani seperti biasa saat itu, tak ada yang
isimewa sekali lagi. Rutinitas menuju malam tersebut kuisi dengan duduk diam di
teras sambil menulis sebuah catatan. Kutunaikan shalat Maghrib, tapi tak
kulihat Ayah turun untuk membersihkan diri dan menunaikan shalat seperti
biasanya, saat aku memeriksa ke lantai atasm yang aku lihat Ayah masih tidur.
Kubiarkan beliau dengan kelelahannya. 18.30. Tiba-tiba Ayah memanggil mas
Nurman, kakak saya yang kedua dari tempat tidurnya, bergegas dia datang menemui
Ayah. “Ambilin Ayah handuk”, pinta beliau kepada mas Nurman. Aku yang datang
untuk membawakan handuk kepada beliau, saat melihat kondisi beliau, kukira Ayah
hanya kecapekan, Beliau terbaring sambil dipijit oleh mas Nurman. Dugaanku
bahwa Ayah Cuma kecapekan, kuputuskan untuk turun kembali. Sampai mas Nurman
memanggil-manggil Ayah hingga suara mas Nurman terdengar olehku. Aku sangat
terkejut, mendadak tubuh Ayah sangat lemas, Ibu menghampiri tubuh beliau dan
kupindahkan tubuh beliau ke pangkuan Ibu. Melihat tubuh beliau yang kian lemah,
aku memanggil beliau, kudekatkan suaraku, aku berbisik ke telinga beliau, “Ayah
gak apa-apa kan?”. Perasaanku sendiri mulai menggangguku, sampai ibu
menyarankan untuk membacakan kalimat tahlil ke telinga beliau.
“Laailaahaillallaah”
Ketakutan mulai menyergapku. Apa yang akan terjadi? Apa
ini? Baikkah ini untukku? Apa maksud semua ini terjadi? Kenapa harus aku?
Kenapa harus aku yang harus mengalaminya? Kuakui, akulah orang yang pertama
kali menangis melihat kondisi Ayah waktu itu, Ayah tidak merespon sama sekali
tiap seruanku. Aku bingung Tuhan! Apa yang sedang terjadi ini? Apakah ini sang
Sakaratul Maut? Apakah ini kematianMu?
Dan sebuah Sunatullah telah berlaku kepada seorang
hamba, “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan Mati.”
Kurasakan guncangan yang luar biasa dalam kepalaku,
mataku sakit, lahir dan batinku kehilangan keteguhannya. Apa aku layak untuk
marah? Apa setiap tetes air mata ini mampu menyelesaikan masalah? Apakah ini
mimpi Tuhan? Siapa sebenarnya aku? Mengapa aku di sini untuk melihat semua ini?
Berbagai macam pertanyaan melayang, mengganggu kesadaranku akan “dunia nyata”.
Dengan goresan air mata yang masih terlihat, aku bergegas menuju ke kediaman
bapak RT untuk meminta bantuan mengenai apa yang sedang terjadi pada Ayah,
“Pak, Ayah Pak. Saya gak tahu Ayah kenapa.” Sambil menenangkan diriku sendiri,
aku berbisik, “Ayah gak apa-apa. Semuanya baik-baik aja”. Namun semakin
kupikirkan, air mata itu semakin mengalir.
Sebuah Memori tentang
Kebencianku pada Realita.
Mungkin ada beberapa yang tidak dapat kuingat sampai
sekarang. Yang aku rasakan waktu itu hanya kebingungan yang luar biasa.
Dan seorang anak 17 tahun kala itu, sedang dirundung
duka, diselimuti ketakutan, dan ditemani kebencian dan ketakutan. Yang sedang
mempertanyakan Tuhan dan produk-produkNya.
Mas Nurman menelepon kakak saya yang pertama, mas Levi yang
sedang berada di tempat kerjanya. Ketika orang-orang mulai berdatangan untuk
membantuku, membantuku memastikan bahwa “semuanya baik-baik saja”. Mereka
membacakan kalimat tahlil, aku pu mulai berpikir, “Yah, semuanya sia-sia. Kau
benar-benar jahat Tuhan! Kenapa harus aku? Kenapa bukan orang-orang yang tidak
berguna di luar sana saja yang Kau ambil nyawanya? Apakah ini adil Tuhan? Semuanya sia-sia. Tak ada
waktu lagi untuk kehidupan. Semuanya mati, setiap sel dari yang hidup. Kosong
tak bernyawa dan tak berkehendak lagi. Apa yang Kau inginkan Tuhan? Senangkah
Kau ketila orang-orang mengucap tahlil? Puaskah Engkau? Lihatlah orang-orang
ini yang tak henti-hentinya melakukan itu.
Melihat suasana itu, aku terganggu. Sampai mas Levi
datang dengan seorang dokter yang akan memeriksa kondisi Ayah dan ternya benar,
sifat-sifat kehidupan sudah pergi dari jasadnya. Sendirian. Suasana itu yang
kurasakan walaupun beberapa orang memelukku, tapi aku tidak tahu siapa
masing-masing dari mereka. “Apakah Ayah salah satunya? Apakah Ayah sedang
mencoba memelukku?”. Badanku lemas, pada pelukan terakhir aku terduduk,
menjauhi keramaian itu. Beberapa rekan dan tetangga turut membantu pengurusan
jenazah Ayah. Keluarga Bapak Sutrisno, salah satu keluarga yang banyak
membantu, meminjamkan mobilnya untuk mengantarkan jenazah Ayah untuk
dibersihkan di Rumah Sakit. Aku tak ingat pukul berapa itu, yang jelas semuanya
tersa cepat berlalu, beberapaemoriku tentang keluargaku, tentang Ayah dan Ibu,
tentgang orang-orang yang sangat aku cintai.
Terlalu lelahku kumengingat semua memori ini, jika Allah masih memberiku waktu, akan kulanjutkan memori itu.
Terlalu lelahku kumengingat semua memori ini, jika Allah masih memberiku waktu, akan kulanjutkan memori itu.
memang sob, ditinggalkan oleh seseorang yang tercinta itu sangat sulit untuk diterima, tuhan ga jahat, tuhan punya banyak banget rahasia dari kehidupan kita.,
BalasHapuskamu termasuk orang yang beruntung karena masih bisa menemani ayahmu smpai beliau menghembuskan nafas terakhirnya.
banyak orang diluar san yang kehilangan ayah atau ibunya tanpa ditemani anak2nya.
ga tahan aku bendung iba airmata, sabar ya semua dah diatur Yang Maha Kuasa, hixz hixs maaf tak nangis aku.....
BalasHapusmakasih mbaknyaa :D
BalasHapusyah, ini adalah sebuah pelajaran, aku masih merasa jadi orang yang paling beruntung kog ^-^
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun...
BalasHapusSabar ya sob, semoga beliau diterima disisi-Nya.
Amin...
aamiiiin...
BalasHapusmakasih y mas :)
Iya sama2.
BalasHapusLink sahabat sudah terpasang di Kopiah Putih, silahkan di Cek!
yang sabar sob....tetep semangat dan selalu doain buat dia yan terbaik :)
BalasHapusyap, makasih2
BalasHapusi pray 4 the best for him,
Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un,
BalasHapusturut berdukacita sob.....
Allah sayang dengah ayah anda sehingga memanggilnya duluan ke pangkuan Ilahi....
tapi salut dengan tulisannya, tiap paragraf sangat jelas dan teratur, sehingga seakan2 anda bercerita di depan saya,
keren sob,
thanks....
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun...
BalasHapusturut berbela sungkawa kang :(
artikel loe bikin ane ikut sedih Sob...yang sabar ye sob...yang pasti entah kapan kita semua juga akan kembali kesisi Allah,,,hanya tingal menunggu saja,,Karena mati itu tak kenal kaya,tak kenal miskin,tak kenal susah,tak kenal senang,tak kenal waktu,tak kenal tempat,tak kenal sehat,tak kenal sakit,,,Kalau memang Allah sudah memanggil dimanapun kita bagaimanapun keadaan kita ,kita tak bisa menghindari..semoga sahabatku tetap semangat,,
BalasHapusSangat sulit berada di posisi seperti ini sobat,, yang sabar sobat dan tetap semngat mengarungi kehidupan ini...
BalasHapusSelalu berkunjung sobat :)
BalasHapusMain k blog Ane ya gan
Klik 4information y gan :)
Komentar di tunggu sobat
Salam blogger
innalilahi :( yang sabar ya sob semoga sobat bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian yang dialami sobat :(
BalasHapus@zaenal blog : makasih mas, sebenernya ga enak juga nginget2 waktu itu, tapi aku cuma pngen berbagi, mudah2an sobat bisa ngambil plajaran d dalamnya,
BalasHapus@Belajar Photoshop : makasih mas, :)
@binkbenk : makasih, aamiiiin, dan memori itu yang melemahkan kelemahanku, :D
@Asis Sugianto : karena setiap yang hidup, pasti akan merasakan mati, makasih mas
@4information : oke mas, ditunggu backlinknya :D
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun...
BalasHapusturut berduka cita mas :(
@Majalah Masjid Kita : makasih mas, :)
BalasHapuskak.. q juga turut berduka cita..
BalasHapussabar kak.. postingan kk ini bkin gerimis ..:)
Cepat atau lambat kita semua juga akan menyusul sobat, tinggal masalah waktu saja...
BalasHapus@resty ayu permatasari : makasih adek, hihihi
BalasHapusbukan maksud bikin sedih
@Asis Sugianto: anda benar, setiap yang bernyawa, pasti akan merasakan mati
semangaaaat ^-^
BalasHapussaatnya mempersembahkan yang terbaik, yang kan membuat beliau bahagia dan bangga mempunyai RENDRA DARMAWANNYA ^-^
@Rendra Darmawan : ia kak :) sama "
BalasHapustak apa ^-^
@adekku tersayang Rendra Darmawan., mas baru tau loh km punya blog ini., semngat y ... Km gk kan pernah sendiri ada mas yg slalu menyayangimu.,kamu dan mas nurman adalah adek adek kebanggan mas levi., tetep semangat ya., ikhlas sabar dan pantang menyerah itu resep yg slalu mas levi pakai dalam menjalani hidup., klo km cocok jg y gk ada salahnya diterapkan.., semoga kita selalu dalam perlindungan dan pertolongan Allah. Amiin. ( masmu LEVI )
BalasHapusBuatlah memori dan kenangan yg menyedihkan menjadi media untuk bersyukur dan mengingat nikmat Allah yg tak terhingga., Ayah dan ibu sudah membentuk team terbaik didikan mereka., mas levi mas nurman dan rendra adalah team yg saling mengisi., gk ada yg melemahkanmu., karna kita bertiga akan selalu menjaga satu sama lain., persaudaraan ini adalah anugrah terbaik dari Allah untuk keluarga kita..Semoga Ayah kita di tempat terbaik di sisi Allah. Amiin.,
BalasHapus